Monday 16 May 2016

Sayang, hanya sebuah kata

Ma. . . . Ma . . . . Maafkan aku, aku tidak pernah mengatakan aku sayang padamu, juga tidak mengatakan aku tidak sayang padamu. Ketika kau selalu bertanya apakah aku sayang padamu, aku tidak berkata apa-apa, aku hanya diam. Melihat aku terdiam, lalu kau ambil kesimpulan bahwa aku tidak menyayangimu, pada saat itu pula aku tersenyum dalam hati, lalu meninggalkanku dengan wajah cemberut, dan saat itu juga senyumku dalam hati malah menjadi sebuah tawa. Begitu sering percakapan seperti itu. Mungkin kau mengira aku tidak menyayangimu atau perduli denganmu, buatku itu tak masalah, aku lebih suka kau menganggapku seperti itu karena bagiku apakah dengan mengatakan aku sayang padamu itu bisa membuatmu lega, jika benar begitu, kau salah kira terhadapku. Ada sebuah  alasan mengapa aku lebih memilih diam, karena dengan mengucapkan sayang saja bagiku itu tidak memberikan cukup bukti, sayang menurutku adalah sebuah tindakan, aksi, dan reaksi bukan sekedar kata sayang yang terucap dari bibir semata. Maafkan aku ma, aku lebih suka kau menganggapku seperti ini.
#untuk mama

Monday 2 May 2016

Taman

 
 
Aku terbangun, ditempat yang tak aku kenal sebelumnya. Juga tak ingat apa-apa, apa mungkin aku mabuk semalam, rasanya seperti pertama kali, tak ada yang berbekas. Tak jauh dari tempatku, ada sebuah taman, sangat bagus, mata terasa termanjakan olehnya. Melangkah kaki ini kedalamnya, ada jalan setapak, ku telusuri. Lalu ada pertigaan, aku ambil kiri, aku susuri kembali. Ada perempatan, aku memilih lurus, ada pertigaan lagi, aku pilih kanan. Aku jalan lagi, sampai kaki ini terasa lelah untuk melangkah. Ditengah rasa lelah aku berhenti, aku melihat, aku mendengar, aku berpikir, aku merasa, dan aku bertanya "lalu, untuk apa aku berada di taman ini ?".
Aku terbangun, ditempat yang tak aku kenal sebelumnya. Juga tak ingat apa-apa, apa mungkin aku mabuk semalam, rasanya seperti pertama kali, tak ada yang berbekas. Tak jauh dari tempatku, ada sebuah taman, sangat bagus, mata terasa termanjakan olehnya. Melangkah kaki ini kedalamnya, ada jalan setapak, ku telusuri. Lalu ada pertigaan, aku ambil kiri, aku susuri kembali. Ada perempatan, aku memilih lurus, ada pertigaan lagi, aku pilih kanan. Aku jalan lagi, sampai kaki ini terasa lelah untuk melangkah. Ditengah rasa lelah aku berhenti, aku melihat, aku mendengar, aku berpikir, aku merasa, dan aku bertanya "lalu, untuk apa aku berada di taman ini ?".

Tuesday 19 January 2016

esensi atau eksistensi ?


 

Mana yang terlebih dahulu, esensi atau eksistensi ?. Pertanyaan yang menarik jika ada 'si penanya' dan 'si penjawab', lalu akan lebih menarik lagi apabila kedua-duanya sama tidak tahu, dan akan menjadi bahan perbincangan yang begitu panjang, kopi sebatang dan rokok segelas tak cukup menurutku. Memang agak mirip-mirip sedikit antara esensi dan eksistensi, namun dibalik kata itu keduanya memiliki pengertian yang kompleks, apalagi jika membahas keduanya.

Ada yang beranggapan esensi dulu, karena itu absolut, tetap, mutlak, tidak bisa diganggu gugat. Pada dasarnya, hematnya, mulanya, mungkin anggapan itu berpijak pada hidup, mati, takdir atau fenomena-fenomena yang pasti. Bahwa esensi telah ada dulu sebelum eksistensi lalu terang-terangan menghujat eksistensi, menyalahkan, bahkan mungkin ingin meniadakan. Mula-mula mereka menghantam eksistensi bahwa eksistensi memungkiri adanya esensi, bahwa eksistensi selalu mengagungkan kebebasan, pilihan, berada, lalu muncul anggapan jika manusia memang benar-benar bebas, bisakah dia memilih bagaimana dia terus bahagia, dan bagaimana mereka bisa memilih tidak akan mati, tidak sakit, tidak miskin dan seterusnya. Atas dasar apa pijakan-pijakan seperti itu, atau mungkin hanya melihatnya hanya dari segi kacamata eksistensialis atheis semata, karena Sarte telah memilih jalan kebebasan, atau karena Nietzsche telah memilih berpijak pada kedua kakinya sendiri, tapi lihatlah kebelakang masih ada Kierkegaard yang memilih jalannya untuk kembali pada Tuhan. Lalu pertanyaannya apa iya yang atheis itu memang benar-benar atheis, atau mungkin mereka lebih theis daripada kita, namun mereka berdalih bahwa mereka itu adalah seorang atheis. Dan apakah mereka memungkiri adanya kematian, sakit, penderitaan dan lain sebagainya ?.

Eksistensi lalu menanggapi, saya analogikan seperti dua orang suku pedalaman yang diberi uang yang mereka tidak pernah mengenal mata uang sebelumnya, lalu si A heran benda apa yang ia dapat itu. Dia bertanya pada lingkungan suku disana, tapi tak ada yang tahu, sampai ada yang berpendapat 'coba tanyakan pada suku tetangga diseberang bukit', si A langsung menuju seberang bukit dengan rasa penasarannya. Dan disana juga sama, mereka juga masih suku yang tertinggal, sampai kebetulan disana ada seorang dokter yang sedang bertugas dengan penasaran langsung dia tanya benda apa yang dipegangnya itu, si dokter  lalu menjawab dengan senyum 'jika kamu pergi ke kota, kamu dapat menukar benda itu dengan apa pun yang kamu mau, dan itu namanya uang'. Berbeda dengan si B yang semenjak mendapatkan uang dia hanya terdiam dipinggir sungai, sambil membolak-balik uang yang ada digenggamannya itu, lalu tak lama membuangnya ke sungai dan hanyut. Jadi hilanglah esensi uang itu ditangan si B.

Eksistensialis bukannya tidak mempunyai kelemahan, mereka juga harus mengenal batasan-batasan, bukan semata-mata bebas sebebas-bebasnya, tapi mereka bebas untuk mengetahui sampai dimana batasan mereka.
Dan bukan mana yang lebih mana dulu, namun jika dilihat kedepan tujuannya adalah esensi, itu yang perlu digaris bawahi. Jika salah satu menghajar satu yang lain bisa dikatakan satu itu telah termakan pertanyaan itu lalu dibuat buta karenanya dan mengabaikan tujuan yang bahkan lebih besar daripada memenangkan pertanyaan itu.