Mana yang terlebih dahulu, esensi atau eksistensi ?. Pertanyaan yang menarik jika ada 'si penanya' dan 'si penjawab', lalu akan lebih menarik lagi apabila kedua-duanya sama tidak tahu, dan akan menjadi bahan perbincangan yang begitu panjang, kopi sebatang dan rokok segelas tak cukup menurutku. Memang agak mirip-mirip sedikit antara esensi dan eksistensi, namun dibalik kata itu keduanya memiliki pengertian yang kompleks, apalagi jika membahas keduanya.
Ada yang beranggapan esensi dulu, karena itu absolut, tetap, mutlak, tidak bisa diganggu gugat. Pada dasarnya, hematnya, mulanya, mungkin anggapan itu berpijak pada hidup, mati, takdir atau fenomena-fenomena yang pasti. Bahwa esensi telah ada dulu sebelum eksistensi lalu terang-terangan menghujat eksistensi, menyalahkan, bahkan mungkin ingin meniadakan. Mula-mula mereka menghantam eksistensi bahwa eksistensi memungkiri adanya esensi, bahwa eksistensi selalu mengagungkan kebebasan, pilihan, berada, lalu muncul anggapan jika manusia memang benar-benar bebas, bisakah dia memilih bagaimana dia terus bahagia, dan bagaimana mereka bisa memilih tidak akan mati, tidak sakit, tidak miskin dan seterusnya. Atas dasar apa pijakan-pijakan seperti itu, atau mungkin hanya melihatnya hanya dari segi kacamata eksistensialis atheis semata, karena Sarte telah memilih jalan kebebasan, atau karena Nietzsche telah memilih berpijak pada kedua kakinya sendiri, tapi lihatlah kebelakang masih ada Kierkegaard yang memilih jalannya untuk kembali pada Tuhan. Lalu pertanyaannya apa iya yang atheis itu memang benar-benar atheis, atau mungkin mereka lebih theis daripada kita, namun mereka berdalih bahwa mereka itu adalah seorang atheis. Dan apakah mereka memungkiri adanya kematian, sakit, penderitaan dan lain sebagainya ?.
Eksistensi lalu menanggapi, saya analogikan seperti dua orang suku pedalaman yang diberi uang yang mereka tidak pernah mengenal mata uang sebelumnya, lalu si A heran benda apa yang ia dapat itu. Dia bertanya pada lingkungan suku disana, tapi tak ada yang tahu, sampai ada yang berpendapat 'coba tanyakan pada suku tetangga diseberang bukit', si A langsung menuju seberang bukit dengan rasa penasarannya. Dan disana juga sama, mereka juga masih suku yang tertinggal, sampai kebetulan disana ada seorang dokter yang sedang bertugas dengan penasaran langsung dia tanya benda apa yang dipegangnya itu, si dokter lalu menjawab dengan senyum 'jika kamu pergi ke kota, kamu dapat menukar benda itu dengan apa pun yang kamu mau, dan itu namanya uang'. Berbeda dengan si B yang semenjak mendapatkan uang dia hanya terdiam dipinggir sungai, sambil membolak-balik uang yang ada digenggamannya itu, lalu tak lama membuangnya ke sungai dan hanyut. Jadi hilanglah esensi uang itu ditangan si B.
Eksistensialis bukannya tidak mempunyai kelemahan, mereka juga harus mengenal batasan-batasan, bukan semata-mata bebas sebebas-bebasnya, tapi mereka bebas untuk mengetahui sampai dimana batasan mereka.
Dan bukan mana yang lebih mana dulu, namun jika dilihat kedepan tujuannya adalah esensi, itu yang perlu digaris bawahi. Jika salah satu menghajar satu yang lain bisa dikatakan satu itu telah termakan pertanyaan itu lalu dibuat buta karenanya dan mengabaikan tujuan yang bahkan lebih besar daripada memenangkan pertanyaan itu.